Penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru.Melanjutkan postingan kemarin di Blog Keperawatan ini yaitu mengenal resusitasi jantung paru maka pada kali ini akan diposting mengenai penatalaksanaan resusitasi jantung paru.Semoga pengenalan akan penatalaksanaan RJP ini bisa menambah pengetahuan kita semua.
Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut.Sehingga penatalaksanaan resusitasi jantung paru dilaksanakan sesegera dan sedepat mungkin diberikan.
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
1. Resusitasi DILAKUKAN pada :
- Infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
- Serangan Adams-Stokes
- Hipoksia akut
- Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
- Sengatan listrik
- Refleks vagal
- Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
- Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
- Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
- Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru adalah sebagai berikut :
Bila tindakan ini tidak menolong,maka rahang bawah ditarik ke depan.Caranya ialah :
- Tarik mandibula ke depan dengan ibu jari sambil,
- Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
- Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
- Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Dalam melakukan pernafasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil.
Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :
- Gerakan dada waktu membesar dan mengecil
- Merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
- Dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
- Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis.
Sebab-sebab henti jantung :
- Afiksi dan hipoksi
- Serangan jantung
- Syok listrik
- Obat-obatan
- Reaksi sensitifitas
- Kateterisasi jantung
- Anestesi.
Henti jantung diketahui dari :
- Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
- Korban tidak sadar
- Korban tampak seperti mati
- Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.
Perabaan arteri carotis lebih dianjurkan karena :
- Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
- Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
- Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC pada RJP tersebut adalah sebagai berikut :
- RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
- Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
- Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
- Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
- Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
- Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP.
- Korban menjadi sadar kembali
- Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.
- Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL).
- Bantuan Hidup Dasar (BDH).
- Bantuan Hidup Lanjut (BHL).
- Bantuan Hidup Jangka Lama.
Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari :
- (A) Airway Control : penguasaan jalan nafas.
- (B) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat.
- (C) Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk syok.
- (D) Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG.
- (E) Electrocardioscopy (Cardiography).
- (F) Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi).
- (G) Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.
- (H) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru dan
- (I) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.